Kajian Seni Budaya yang Keramat dan Adiluhung
Materi Presentasi pada Pameran Keris dan Seni Visual di Jogja Gallery - Minggu, 27 Juli 2008
Oleh : H. Imam Sudjono & Kardono
Pengantar
Perkembangan dunia
begitu pesat, sayangnya perkembangan pada tingkat rohani tidak seimbang dengan
perkembangan pada tingkat materi. Manusia telah berkembang sedemikian rupa,
menciptakan teknologi yang sangat maju, segalanya menjadi mudah, indah dan
membanggakan, kita pantas bersyukur.
Namun kita juga pantas
untuk merenung akan keadaan batin kita. Batin manusia secara umum kering, dan
setelah kering sekian lama, akhirnya manusia mencari sumber air kehidupan.
Demikian banyak mata air yang ditawarkan, dan tentu saja kita bebas untuk
memilih, dan keputusan akhir pada diri kita masing – masing.
Satu di antara sekian
banyak mata air tersebut adalah pasemon – pasemon yang terkandung pada sebilah
keris, yang merupakan simbol dari nasihat keramat peninggalan para priyagung
luhur. Budaya adiluhung ini hampir terlupakan oleh masyarakat kita. Kemuliaan
keris akan nampak bila kita memahami dengan cara yang benar, sehingga kita akan
mendapatkan faedahnya dalam kehidupan ini, menjadi manusia yang sesungguhnya,
manusia yang mulia.
Penulisan singkat ini
akan menyajikan sekelumit pasemon tersebut, yang mesti jauh dari sempurna, dan
banyak kekurangannya. Untuk ini, penulis mohon maaf, semoga pembaca berkenan
untuk memberikan saran.
Berbagai macam sumber dipakai sebagai acuan,
dengan harapan agar penulisan ini semakin mapan, semoga berkenan.
Kemuliaan
Keris
Fokus bahasan yang kami angkat adalah bahwa keris itu keramat tanpa mistik, maka pemahaman kami
bahwa keramat itu berarti suci, mulia, dan bertuah. Maksud kami, suci karena
keris itu mempunyai nilai – nilai sakral, adapun mulia karena merupakan
kebesaran budaya bangsa, yang tinggi martabatnya. Barangsiapa yang mampu
memahami nilai – nilai yang ada di balik sebilah keris, maka orang tersebut akan
mendapatkan tuah, atau kebahagiaan di dalam hidupnya. Di dalam tatanan
kehidupan nenek moyang kita, terutama di Jawa, bahwa kehidupan seseorang itu
baru dinyatakan lengkap setelah memiliki lima hal, yaitu : Curigo, turonggo,
wismo, wanito, dan kukilo. Curigo atau keris menjadi prioritas utama, mengapa?
Bilamana kita cermati dengan seksama, keris itu ngemu pituduh (petunjuk tentang
kebenaran ) dan ngemu pitutur (mengandung nasihat tentang kebajikan).
Para priyagung luhur
berkehendak mewariskan pituduh dan pitutur adiluhung kepada generasi penerus
bangsa, agar hidupnya benar dan bahagia lahir dan batin. Namun pituduh dan
pitutur tersebut kerapkali disampaikan secara simbolik, kias, atau sanepo,
bahkan pasemon, yang dituangkan pada karya – karya seni adiluhung, berupa
bangunan, tari, sastra, pakaian, gamelan, dan sebagainya, termasuk keris.
Marilah kita cermati
bersama, pituduh dan pitutur adiluhung tersebut yang terdapat di dalam keris
Berdasarkan catatan dari Demak Kadilangu, yang disampaikan oleh Kanjeng
Pangeran Wijil II (Pujangga terakhir Kraton Kartasura) yang sempat dikutip oleh
Ki Darmosugito dalam bukunya yang berjudul Dhuwung, secara garis besar ada dua
hal pasemon yang terdapat di dalam keris, yaitu :
Gbr. 1 Keris sebagai warisan adiluhung budaya Jawa banyak mengandung pesan secara simbolik, di antaranya keris Gajah Singo |
I.
Keris sebagai pasemoning sangkan paran (
rahasia tentang asal – usul manusia )
II.
Keris sebagai pasemoning agesang (
rahasia tentang kehidupan manusia )
I.
Keris
sebagai Pasemoning Sangkan Paran
- Kita sadari atau tidak, bilamana kita melihat keris akan terbayang para Empu, para priyagung luhur dengan seluruh kebesaran yang dimiliki, dan teringat akan diri kita sendiri, yang kemudian ingatan kita akan terpusat kepada yang memberi hidup, Tuhan Yang Maha Esa. Maka keris menjadi pepenget suci bagi manusia, bahwa keberadaannya tidak terlepas dari Yang Maha Esa, kita hanyalah seberkas percikan cahaya dari Yang Maha Terang.
- Bilamana kita melihat sebilah keris,
kesan awal yang dapat kita lihat, bahwa jumlahnya hanya satu, namun bila
dicermati, setelah dihunus maka keris itu terdiri dari dua bagian, yaitu
warangka dan wilah, atau manunggalnya barang dua. Nampaknya satu, namun
sebenarnya dua, tetapi walaupun dua, sebenarnya satu. Yaitu satunggal ingkang
kalih, kalih ingkang satunggal. Ini merupakan pasemoning sangkan paran, tentang
jumbuhing kawula Gusti. Filosofi kemanunggalan ini disampaikan untuk pertama
kali oleh Empu Umayun di Bumi Nusantara pada abad IX (SM), yang kemudian
dikembangkan oleh para priyagung luhur di tanah Jawa.
Hal ini ditegaskan pula oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X saat memberikan sabdotomo dalam bahasa Jawa, pada upacara puncak Hari Jadi ke – 177 Kabupaten Bantul, hari Minggu Wage tanggal 20 Juli 2008 di lapangan Trirenggo, Bantul, yang dijadikan momentum dimulainya Gerakan Kebangkitan dan Pemberdayaan Masyarakat (Gerbangdaya) tingkat kecamatan. Sabdotomo Sri Sultan Hamengku Buwono X antara lain sebagai berikut :
“Dikirabkannya pusaka Kanjeng Kyai Agnyo – Murni, melambangkan budaya pamor agama, yang bisa diartikan sebaga Manunggaling Kawulo – Gusti.” (KR Senin Kliwon 21/7/2008 halaman 24, kolom IV). - Kalau keris kita hunus, lalu dicermati
wilahnya, maka seolah – olah yang dianggap ujungnya (pucuk) adalah bagian yang
runcing, dan pangkalnya (bongkot) adalah bagian yang kita pegang, yaitu pesi,
ini adalah anggapan yang wajar. Padahal bila kita merunut proses pembuatan keris,
sewaktu keris masih berujud bakalan (kodhokan), bagian ujung kodhokan itu
diputus atau dipenggal, sebagai bahan untuk membuat gonjo, yang nantinya
ditembus pesi sebagai bagian utama dari sor – soran keris. Setelah keris diberi
perabot yang lengkap dan kita sarungkan ke warangka, maka yang semula sebagai
bagian ujungnya keris, berubah fungsi menjadi pangkalnya keris atau bagian
bongkotnya. Kemudian bagian sor – soran, yaitu bagian gonjo dan pesi yang
semula sebagai pangkalnya (bongkot) , berubah menjadi ujungnya (pucuk).
Sehingga keris itu sebenarnya tanpa bongkot dan tanpa pucuk, tanpa ujung dan tanpa pangkal. Para Empu mewariskan pasemon kepada kita bahwa sesuatu yang tanpa ujung dan pangkal, atau tanpa wiwitan lan tanpa pungkasan, merupakan salah satu sifat abadi dari Tuhan Yang Maha Esa. - Bentuk Gonjo yang menyerupai cecak, yang maknanya dalam huruf Jawa artinya titik. Semua ujud seantero alam semesta itu merupakan kumpulan dari titik yang jumlahnya tak terhitung. Ini merupakan pasemon luhur segala yang ada di alam semesta ini merupakan percikan cahaya dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kumpulan titik seluruh alam semesta ini akhirnya juga merupakan ujud dari titik yang Tunggal, yang Maha Satu. Maknanya bahwa apapun yang terjadi di dunia ini, awal dan akhirnya berada dalam kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
- Cecak dalam bahasa Kawi artinya murti atau halus. Pasemonnya adalah bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu Hangebeki Jagad Raya, ya agal, juga ya halus. Agal dan halusnya tanpa tandhing, satu yang tidak terbatas, tak terbatas tetapi satu.
- Ketajaman keris yang ada di bagian ujung biasa disebut lungiding curigo. Ini mengandung pasemon bahwa alam semesta ini penuh dengan rahasia Ilahi. Diharapkan manusia setelah menjadi janma linipat seprapat tamat, atau jatmika lantip ing panggraita, dalam arti menjadi manusia yang arif bijaksana, sedikit banyak diharapkan mampu memahami kehendak alam. Para Empu mengharapkan agar generasi penerus bangsa mampu menjadi manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin, selaras, serasi, dan seimbang, menjadi manusia yang dapat hamemayu hayuning jagad.
- Secara fisik bahan baku keris itu ada
tiga macam : besi, baja, dan pamor. Besi dan baja berasal dari bumi, yang
mengku pasemon keberadaan manusia di Bumi. Sedangkan bahan baku pamor, berasal
dari angkasa yang mengku pasemon keluhuran Tuhan Yang Maha Esa. Dalam proses
penempaannya bahan baku tersebut, seorang Empu, mengupayakan agar bahan – bahan
tesebut dapat luluh dan jumbuh, manunggal menjadi satu. Ini merupakan hal yang
amat prinsip, agar keris yang dibabar tersebut, kelak menjadi keris yang
bertaraf sebagai mahakarya paripurna.
Ini mengku pasemon bahwa, utamanya kehidupan manusia itu, bilamana sudah mampu memaknai dan mengamalkan Jumbuhing Kawulo – Gusti. Inilah sebenarnya yang disebut manusia paripurna, manusia yang holistik, manusia seutuhnya, manusia yang sudah menyadari akan kesejatian dirinya. Bilamana hal ini telah terjadi pada seseorang, maka manusia tersebut akan nampak bercahaya, layaknya cahaya pamor yang bersinar pada sebilah keris. - Salah satu ricikan keris yang tidak nampak saat bilahnya dihunus adalah pesi, atau peksi, karena tertutup ukiran yang menjadi pegangan. Pesi atau peksi itu artinya burung. Letak burung itu berada di angkasa,berada di tempat yang suwung, kosong, atau sonya. Walaupun kosong tetapi berujud, dan tidak terbatas. Jelasnya lamun cedak datan senggolan, yen adoh tanpa wangenan, atau bilamana dekat tidak bersentuhan, kalau jauh tanpa batasan. Ini merupakan pasemon dari nenek moyang kita mengenai salah satu sifat dari Tuhan Yang Maha Esa.
II. Keris sebagai Pasemoning Agesang
Bila
di atas telah dibahas mengenai keris sebagai pasemoning sangkan paran,
berikutnya adalah keris sebagai pasemoning agesang. Dalam membahas keris
sebagai pasemoning agesang, akan lebih jelas setelah kita mengamati ricikan
keris, terutama pada bagian sor – sorannya, yang cukup banyak ricikannya. Perlu
diketahui bahwa antara ricikan yang satu sangat erat dengan yang lain, karena
merupakan satu kesatuan.
Ricikan
– ricikan tersebut merupakan pasemoning agesang antara kakung dan pawestri
(pria dan wanita), yang menjadi perantara asal – usul kehidupan kita. Para
luhur kita sengaja menyebutkan ricikan secara acak, dengan harapan agar tidak
terkesan jorok atau porno, serta diharapkan agar generasi penerus, para anak
cucu menggunakan “lungiding driyo” untuk membahas wasita sinanggit yang berupa
pasemoning agesang yang tertuang dalam ricikan sebilah keris. Nama ricikan juga
disemukan agar tidak begitu vulgar atau kotor, sehingga istilah dan sebutannya
betul – betul bernuansa adiluhung.
Perlu
diketahui bahwa, tidak semua keris memiliki ricikan yang lengkap, karena
ricikan itu tergantung dari dhapur sebilah keris. Ricikan yang lengkap, hanya
dimiliki oleh keris berdhapur sangkelat, walaupun ada beberapa ricikan yang
tidak tertera pada bilahnya, misalnya : ricikan pudhak sategal, jenggot
panjang, dan sebagainya. Namun diharapkan makna ricikan itu dapat diterapkan
pada setiap bilah keris yang sesuai dengan dhapurnya.
Supaya
lebih mudah dipahami makna pasemoning agesang, maka penulis bermaksud untuk
membahas ricikan tersebut secara berurutan.
1. Ada
– Ada
Tempatnya
ada di tengah – tengah bilah, mulai dari sor – soran sampai kudup, bentuknya
menggeligir. Ada – ada ini dimaknai dengan osiking manah yang melahirkan karep,
kehendak atau inisiatif. Awal dari segala perbuatan manusia adalah karep.
2. Jenggot
Ada
dua macam jenggot, dan tempatnya menempel tepat di atas sekar kacang. Ada
jenggot panjang, yang menjadi pasemoning kakung dan jenggot pendek, yang
menjadi pasemoning pawestri.
3. Praen
Letak
praen pada bagian bilah paling depan. Praen ini dari kata rai, atau wajah, maka
letaknya di depan.
4. Greneng
Tempatnya
pada ujung gonjo paling belakang, berwujud huruf “dha” Jawa. Greneng ini
terdiri dari dua huruf dha, jadi “dhadha”, disebut greneng sungsun. Bila huruf
dha berada di atas greneng sungsun, maka disebut huruf dha yang nunut atau
lazim disebut ron dha nunut, artinya huruf dha yang dompleng (nunut) wilahan
keris.
Dha
– dha dimaknai sebagai tempat menyimpan rahasia kehidupan seseorang. Rahasia
kehidupan di dalam dha – dha seseorang yang tidak dapat diselesaikan sendiri
perlu dirembug, atau dimusyawarahkan, atau di – greneng – kan dengan orang
lain.
5. Plunturan
atau Kruwingan
Tempatnya
di belakang praen, memanjang ke bawah. Merupakan pasemon bahwa setelah ada
musyawarah (greneng) melahirkan kesepakatan untuk melangkah, atau bertindak.
Juga dapat dimaknai penyampaian sebagian atau seluruh perasaan seseorang pada
orang lain (curhat).
6. Gusen
Tempatnya
di depan dan di belakang ada – ada, ujudnya pingulan yang tidak setajam ada –
ada. Maka ada gusen belakang dan gusen depan. Gusen itu asal kata dari gusi,
yaitu bagian mulut berupa daging keras, tempat di mana gigi – gigi kita
menancap. Makna gusen depan dan belakang itu berarti bertemunya dua bibir
antara kakung dan pawestri.
7. Tikel
Alis
Tempatnya
di bawah pejetan, terus mengalir ke bawah, bila dicermati seperti alis, di
depan besar terus mengecil. Tikel alis pada sebilah keris jumlahnya ada dua,
yaitu masing – masing permulaan bilah. Maka disebut tikel alis artinya kening
yang jumlahnya dua kali lipat. Pasemoning tikel alis adalah bersatunya dua
kening atau alis antara kakung dan pawestri, yang sudah menempel satu dengan
yang lain.
8. Wadidang
Ricikan
berikutnya setelah tikel alis adalah wadidang. Wadidang itu tempatnya di bagian
belakang sor – soran, yang artinya paha. Ujudnya tajam, melengkung.
9. Sraweyan
Tempatnya
di bawah gonjo belakang, bentuknya menyerupai gusen, berada di belakang
sogokan. Pasemoning sraweyan ini adalah tangan yang senantiasa bergerak mencari
sasaran untuk dipegang.
10. Jalen
(jalu memet) dan lambe gajah
Jalu
memet tempatnya di bawah sekar kacang, ujungnya runcing, merupakan pasemoning
alat vital kakung.
11. Gandhik
Terletak
di bawah gonjo, bagian sirah cecak, bentuknya bulat memanjang, menyerupai
gandhik (penggilas ramuan jamu). Maknanya, merupakan pasemon:
a. Rembug
yang telah golong – gilig antara dua insan yang telah seia – sekata.
b. Merupakan
pasemon terhadap manunggalnya antara jalu memet dan lambe gajah, yang tempatnya
menyatu dengan gandhik. Bilamana jalu memet dan lambe gajah ini sudah menyatu
disebut gandhik, yang berarti manunggalnya dua insan kakung dan pawestri
sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.
12. Genukan
atau bawang sebungkul
Tempatnya
di tengah – tengah dan menempel di gonjo, bentuknya mbrenjul seperti tumpeng.
Merupakan pasemon alat vital pawestri.
13. Sogokan
Tempatnya
berada di kanan – kiri genukan, ujudnya cekungan yang memanjang ke bawah dan
meruncing. Ada dua sogokan, depan dan belakang, bahkan ada yang hanya satu,
sogokan bagian depan. Sogokan ini menjadi pasemon alat vital kakung.
14. Sekar
kacang
Tempatnya
di bawah gandhik, lambe gajah, maupun
jalen. Bentuknya melengkung ke atas seperti belalai gajah, hampir
menempel lambe gajah. Bermacam – macam bentuk dari sekar kacang, ada yang
panjang, nguku Bhima, nyambah aking, dan ada yang terbalik.
Sekar
kacang ini menjadi pasemon wijining agesang, yang tumbuh setelah terjadinya
proses manunggalnya jalu memet dan lambe gajah.
15. Blumbangan
atau pejetan
Letaknya
di bagian gonjo bagian jonggo cecak, di belakang gandhik, di depan genukan.
Ujudnya berupa cekungan atau blumbangan.
Blumbangan
ini menjadi pasemon sebagai wadah wijining agesang, atau lazimnya disebut
rahim, yang artinya belas kasih. Hanya karena atas belas kasih Tuhan Yang Maha
Esa semata, maka kita dapat lahir dan hidup dari seorang ibu.
16. Pudhak
sategal
Tempatnya
di sebelah depan dan belakang sor – soran, bentuknya seperti pedang, memanjang
ke bawah dan tajam.
Artinya
pudhak itu bunga pandhan, yang baunya sangat harum, dan jumlah satu tegalan
penuh. Pasemoning pudhak sategal adalah harum dan mulia.
Bilamana
makna ricikan – ricikan di atas kita rangkum dalam satu kesatuan maka akan
semakin jelas pasemoning agesang tersebut.
Berawal
dari kehendak, karep (ada – ada) dua insan antara jenggot panjang (kakung)
bertemu dengan jenggot pendek (pawestri) bertatap muka (praen). Setelah
bertatap muka, kedua insan tersebut menyampaikan isi hati mereka masing –
masing dalam bentuk musyawarah atau berembug. Musyawarah atau berembug ini juga
diistilahkan greneng.
Dalam
suasana grenengan ini mereka saling menyampaikan isi hati mereka (dha – dha),
tentang suka dan dukanya kehidupan. Yang akhirnya mereka memadu kasih, saling
memberi dan menerima baik segala kelebihan maupun kekurangan mereka masing –
masing (plunturan atau kruwingan). Mereka mulai saling berdekatan, bercumbu
rayu yang dimaknai denga ricikan gusen (gusi) dan tikel alis (alis kembar).
Setelah gusen dan tikel alis mendekat maka kemudian diikuti dengan merapatnya
wadidang (paha) kedua insan. Tanga mulai sraweyan ( meraba) untuk mencari
sasaran yang terdapat di dalam wadidang masing – masing. Sasaran di dalam
wadidang ini adalah jalu memet dan lambe gajah, yang menempel pada gandhik.
Terpadulah dua insan hamba Tuhan Yang Maha Esa, untuk mewujudkan satu yang dua,
atau dua yang satu, mereka terikat dalam satu kesatuan ujud, yang lazim disebut
garwa (sigaraning nyawa).
Ada
pasemon dua ricikan yang berwujud genukan (bawang sebungkul) dan sogokan, yang
kemudian menghasilkan sekar kacang sebagai pasemon wijining agesang yang
ditampung dalam blumbangan atau pejetan. Wijining agesang tersebut diharap
kelak menjadi penerus kehidupan baru. Inilah pasemoning agesang yang terdapat
dalam keris.
Bilamana
kita menyikapi pasemoning agesang ini secara benar dan arif maka kita akan
mampu menjadi suri tauladan hidup, yang akan mengharumkan nama keluarga dan
bangsa, ibaratnya pudhak sategal.
Namun
sebaliknya bilamana seseorang tidak mampu memaknai secara benar, maka niscaya
akan jatuh ke jurang kenisthaan hidup, aji godhong jati aking, ibarat terkena
ketajaman keris dari wadidang sampai gandhik.
Dari
pitutur dan pituduh, berupa pasemoning sangkan paran serta pasemoning agesang
yang tertuang di dalam keris tersebut, para priyagung luhur mewariskan sesanti
kepada semua generasi penerus kehidupan bangsa, bahwa :
1. Agar
kita senantiasa melaksanakan dan mengamalkan segala apa yang diperintahkan
Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus menjauhi apa yang menjadi larangan – Nya,
sehingga kita mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita mampu
menjadi mustikaning janma, yang dapat melaksanakan dan mengamalkan jumbuhing
Kawulo – Gusti. (jumbuh/ngetrepi)
2. Agar
kita dapat memahami secara benar bahwa apa yang tertuang dalam ricikan keris
adalah sesuatu yang suci, mulia, atau keramat, jangan sampai sekali – kali
diwarnai dengan nafsu yang hina.
Bilamana
dapat kita laksanakan dengan baik, maka akan mendapatkan anugerah dari Tuhan
Yang Maha Esa sebagai keluarga yang sakinah, mawadah, dan warakhmah.
3. Kepada
anak cucu generasi penerus, hendaknya disadari bahwa keris merupakan salah satu
jati diri bangsa Indonesia yang wajib diuri – uri, dipepetri, dan dilestarikan
sebagai warisan bangsa yang adiluhung.
Inilah
pesan moral yang keramat warisan para Empu yang tertuang dalam mahakarya
paripurna berupa keris. Maka tidaklah berlebihan, bilamana kita memandang keris
sebagai mahakarya paripurna anak bangsa yang keramat dan adiluhung.Salam Keris!!!
Mentaok Keris
Salam kenal Bpk Kardono, saya merasa artikel Bapak sangat bagus, menarik, dan penting untuk dibaca para pemerhati keris yang masih pemula seperti saya. sebagai penjual karya seni antik, saya juga menyediakan keris untuk kepentingan koleksi dan hobby, namun saya belum paham betul tentang keris. mudah2an Bapak sudi untuk mengunjungi blog saya: http://gama-wati.blogspot.com/
BalasHapusuntuk memberikan kritik dan saran. terimakasih.
Salam kenal Bpk Joyo, terima kasih atas kunjungannya di blog kami. Mohon maaf baru sempat membalas komentar, karena kemarin2 saya masih belum bisa begitu aktif melakukan blogging.
HapusSalam keris!!!
- Kardono/ Mentaok Keris -
Turut menyimak oom....
BalasHapus