Selamat datang di blog kami, semoga tulisan dan artikel di blog ini bisa bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam melestarikan dan nguri-uri budaya keris & tosan aji. Apabila ada masukan, saran dan hal yang ingin didiskusikan silakan isi komentar di blog kami atau berkunjung langsung ke rumah kami.
- Mentaok Keris -

Kamis, 19 Juli 2012

Kemuliaan Keris

Kajian Seni Budaya yang Keramat dan Adiluhung 


Materi Presentasi pada Pameran Keris dan Seni Visual di Jogja Gallery - Minggu, 27 Juli 2008

Oleh : H. Imam Sudjono & Kardono


Pengantar
 Perkembangan dunia begitu pesat, sayangnya perkembangan pada tingkat rohani tidak seimbang dengan perkembangan pada tingkat materi. Manusia telah berkembang sedemikian rupa, menciptakan teknologi yang sangat maju, segalanya menjadi mudah, indah dan membanggakan, kita pantas bersyukur.
Namun kita juga pantas untuk merenung akan keadaan batin kita. Batin manusia secara umum kering, dan setelah kering sekian lama, akhirnya manusia mencari sumber air kehidupan. Demikian banyak mata air yang ditawarkan, dan tentu saja kita bebas untuk memilih, dan keputusan akhir pada diri kita masing – masing.
Satu di antara sekian banyak mata air tersebut adalah pasemon – pasemon yang terkandung pada sebilah keris, yang merupakan simbol dari nasihat keramat peninggalan para priyagung luhur. Budaya adiluhung ini hampir terlupakan oleh masyarakat kita. Kemuliaan keris akan nampak bila kita memahami dengan cara yang benar, sehingga kita akan mendapatkan faedahnya dalam kehidupan ini, menjadi manusia yang sesungguhnya, manusia yang mulia.
Penulisan singkat ini akan menyajikan sekelumit pasemon tersebut, yang mesti jauh dari sempurna, dan banyak kekurangannya. Untuk ini, penulis mohon maaf, semoga pembaca berkenan untuk memberikan saran.
Berbagai macam sumber dipakai sebagai acuan, dengan harapan agar penulisan ini semakin mapan, semoga berkenan.


Kemuliaan Keris
Fokus bahasan yang kami angkat adalah bahwa keris itu keramat tanpa mistik, maka pemahaman kami bahwa keramat itu berarti suci, mulia, dan bertuah. Maksud kami, suci karena keris itu mempunyai nilai – nilai sakral, adapun mulia karena merupakan kebesaran budaya bangsa, yang tinggi martabatnya. Barangsiapa yang mampu memahami nilai – nilai yang ada di balik sebilah keris, maka orang tersebut akan mendapatkan tuah, atau kebahagiaan di dalam hidupnya. Di dalam tatanan kehidupan nenek moyang kita, terutama di Jawa, bahwa kehidupan seseorang itu baru dinyatakan lengkap setelah memiliki lima hal, yaitu : Curigo, turonggo, wismo, wanito, dan kukilo. Curigo atau keris menjadi prioritas utama, mengapa? Bilamana kita cermati dengan seksama, keris itu ngemu pituduh (petunjuk tentang kebenaran ) dan ngemu pitutur (mengandung nasihat tentang kebajikan).
Para priyagung luhur berkehendak mewariskan pituduh dan pitutur adiluhung kepada generasi penerus bangsa, agar hidupnya benar dan bahagia lahir dan batin. Namun pituduh dan pitutur tersebut kerapkali disampaikan secara simbolik, kias, atau sanepo, bahkan pasemon, yang dituangkan pada karya – karya seni adiluhung, berupa bangunan, tari, sastra, pakaian, gamelan, dan sebagainya, termasuk keris.
Gbr. 1 Keris sebagai warisan adiluhung budaya Jawa banyak mengandung pesan secara simbolik, di antaranya keris Gajah Singo
 Marilah kita cermati bersama, pituduh dan pitutur adiluhung tersebut yang terdapat di dalam keris Berdasarkan catatan dari Demak Kadilangu, yang disampaikan oleh Kanjeng Pangeran Wijil II (Pujangga terakhir Kraton Kartasura) yang sempat dikutip oleh Ki Darmosugito dalam bukunya yang berjudul Dhuwung, secara garis besar ada dua hal pasemon yang terdapat di dalam keris, yaitu :
I.                   Keris sebagai pasemoning sangkan paran ( rahasia tentang asal – usul manusia )
II.                Keris sebagai pasemoning agesang ( rahasia tentang kehidupan manusia )

I.     Keris sebagai Pasemoning Sangkan Paran
  1. Kita sadari atau tidak, bilamana kita melihat keris akan terbayang para Empu, para priyagung luhur dengan seluruh kebesaran yang dimiliki, dan teringat akan diri kita sendiri, yang kemudian ingatan kita akan terpusat kepada yang memberi hidup, Tuhan Yang Maha Esa. Maka keris menjadi pepenget suci bagi manusia, bahwa keberadaannya tidak terlepas dari Yang Maha Esa, kita hanyalah seberkas percikan cahaya dari Yang Maha Terang.
  2. Bilamana kita melihat sebilah keris, kesan awal yang dapat kita lihat, bahwa jumlahnya hanya satu, namun bila dicermati, setelah dihunus maka keris itu terdiri dari dua bagian, yaitu warangka dan wilah, atau manunggalnya barang dua. Nampaknya satu, namun sebenarnya dua, tetapi walaupun dua, sebenarnya satu. Yaitu satunggal ingkang kalih, kalih ingkang satunggal. Ini merupakan pasemoning sangkan paran, tentang jumbuhing kawula Gusti. Filosofi kemanunggalan ini disampaikan untuk pertama kali oleh Empu Umayun di Bumi Nusantara pada abad IX (SM), yang kemudian dikembangkan oleh para priyagung luhur di tanah Jawa.
    Hal ini ditegaskan pula oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X saat memberikan sabdotomo dalam bahasa Jawa, pada upacara puncak Hari Jadi ke – 177 Kabupaten Bantul, hari Minggu Wage tanggal 20 Juli 2008 di lapangan Trirenggo, Bantul, yang dijadikan momentum dimulainya Gerakan Kebangkitan dan Pemberdayaan Masyarakat (Gerbangdaya) tingkat kecamatan.
    Sabdotomo Sri Sultan Hamengku Buwono X antara lain sebagai berikut :
    “Dikirabkannya pusaka Kanjeng Kyai Agnyo – Murni, melambangkan budaya pamor agama, yang bisa diartikan sebaga Manunggaling Kawulo – Gusti.” (KR Senin Kliwon 21/7/2008 halaman 24, kolom IV).
  3. Kalau keris kita hunus, lalu dicermati wilahnya, maka seolah – olah yang dianggap ujungnya (pucuk) adalah bagian yang runcing, dan pangkalnya (bongkot) adalah bagian yang kita pegang, yaitu pesi, ini adalah anggapan yang wajar. Padahal bila kita merunut proses pembuatan keris, sewaktu keris masih berujud bakalan (kodhokan), bagian ujung kodhokan itu diputus atau dipenggal, sebagai bahan untuk membuat gonjo, yang nantinya ditembus pesi sebagai bagian utama dari sor – soran keris. Setelah keris diberi perabot yang lengkap dan kita sarungkan ke warangka, maka yang semula sebagai bagian ujungnya keris, berubah fungsi menjadi pangkalnya keris atau bagian bongkotnya. Kemudian bagian sor – soran, yaitu bagian gonjo dan pesi yang semula sebagai pangkalnya (bongkot) , berubah menjadi ujungnya (pucuk).
    Sehingga keris itu sebenarnya tanpa bongkot dan tanpa pucuk, tanpa ujung dan tanpa pangkal. Para Empu mewariskan pasemon kepada kita bahwa sesuatu yang tanpa ujung dan pangkal, atau tanpa wiwitan lan tanpa pungkasan, merupakan salah satu sifat abadi dari Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Bentuk Gonjo yang menyerupai cecak, yang maknanya dalam huruf Jawa artinya titik. Semua ujud seantero alam semesta itu merupakan kumpulan dari titik yang jumlahnya tak terhitung. Ini merupakan pasemon luhur segala yang ada di alam semesta ini merupakan percikan cahaya dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kumpulan titik seluruh alam semesta ini akhirnya juga merupakan ujud dari titik yang Tunggal, yang Maha Satu. Maknanya bahwa apapun yang terjadi di dunia ini, awal dan akhirnya berada dalam kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Cecak dalam bahasa Kawi artinya murti atau halus. Pasemonnya adalah bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu Hangebeki Jagad Raya, ya agal, juga ya halus. Agal dan halusnya tanpa tandhing, satu yang tidak terbatas, tak terbatas tetapi satu.
  6. Ketajaman keris yang ada di bagian ujung biasa disebut lungiding curigo. Ini mengandung pasemon bahwa alam semesta ini penuh dengan rahasia Ilahi. Diharapkan manusia setelah menjadi janma linipat seprapat tamat, atau jatmika lantip ing panggraita, dalam arti menjadi manusia yang arif bijaksana, sedikit banyak diharapkan mampu memahami kehendak alam. Para Empu mengharapkan agar generasi penerus bangsa mampu menjadi manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin, selaras, serasi, dan seimbang, menjadi manusia yang dapat hamemayu hayuning jagad.
  7. Secara fisik bahan baku keris itu ada tiga macam : besi, baja, dan pamor. Besi dan baja berasal dari bumi, yang mengku pasemon keberadaan manusia di Bumi. Sedangkan bahan baku pamor, berasal dari angkasa yang mengku pasemon keluhuran Tuhan Yang Maha Esa. Dalam proses penempaannya bahan baku tersebut, seorang Empu, mengupayakan agar bahan – bahan tesebut dapat luluh dan jumbuh, manunggal menjadi satu. Ini merupakan hal yang amat prinsip, agar keris yang dibabar tersebut, kelak menjadi keris yang bertaraf sebagai mahakarya paripurna.
    Ini mengku pasemon bahwa, utamanya kehidupan manusia itu, bilamana sudah mampu memaknai dan mengamalkan Jumbuhing Kawulo – Gusti. Inilah sebenarnya yang disebut manusia paripurna, manusia yang holistik, manusia seutuhnya, manusia yang sudah menyadari akan kesejatian dirinya. Bilamana hal ini telah terjadi pada seseorang, maka manusia tersebut akan nampak bercahaya, layaknya cahaya pamor yang bersinar pada sebilah keris.
  8. Salah satu ricikan keris yang tidak nampak saat bilahnya dihunus adalah pesi, atau peksi, karena tertutup ukiran yang menjadi pegangan. Pesi atau peksi itu artinya burung. Letak burung itu berada di angkasa,berada di tempat yang suwung, kosong, atau sonya. Walaupun kosong tetapi berujud, dan tidak terbatas. Jelasnya lamun cedak datan senggolan, yen adoh tanpa wangenan, atau bilamana dekat tidak bersentuhan, kalau jauh tanpa batasan. Ini merupakan pasemon dari nenek moyang kita mengenai salah satu sifat dari Tuhan Yang Maha Esa.
II.  Keris sebagai Pasemoning Agesang
            Bila di atas telah dibahas mengenai keris sebagai pasemoning sangkan paran, berikutnya adalah keris sebagai pasemoning agesang. Dalam membahas keris sebagai pasemoning agesang, akan lebih jelas setelah kita mengamati ricikan keris, terutama pada bagian sor – sorannya, yang cukup banyak ricikannya. Perlu diketahui bahwa antara ricikan yang satu sangat erat dengan yang lain, karena merupakan satu kesatuan.
     Ricikan – ricikan tersebut merupakan pasemoning agesang antara kakung dan pawestri (pria dan wanita), yang menjadi perantara asal – usul kehidupan kita. Para luhur kita sengaja menyebutkan ricikan secara acak, dengan harapan agar tidak terkesan jorok atau porno, serta diharapkan agar generasi penerus, para anak cucu menggunakan “lungiding driyo” untuk membahas wasita sinanggit yang berupa pasemoning agesang yang tertuang dalam ricikan sebilah keris. Nama ricikan juga disemukan agar tidak begitu vulgar atau kotor, sehingga istilah dan sebutannya betul – betul bernuansa adiluhung.
        Perlu diketahui bahwa, tidak semua keris memiliki ricikan yang lengkap, karena ricikan itu tergantung dari dhapur sebilah keris. Ricikan yang lengkap, hanya dimiliki oleh keris berdhapur sangkelat, walaupun ada beberapa ricikan yang tidak tertera pada bilahnya, misalnya : ricikan pudhak sategal, jenggot panjang, dan sebagainya. Namun diharapkan makna ricikan itu dapat diterapkan pada setiap bilah keris yang sesuai dengan dhapurnya.
Supaya lebih mudah dipahami makna pasemoning agesang, maka penulis bermaksud untuk membahas ricikan tersebut secara berurutan.
1.      Ada – Ada
Tempatnya ada di tengah – tengah bilah, mulai dari sor – soran sampai kudup, bentuknya menggeligir. Ada – ada ini dimaknai dengan osiking manah yang melahirkan karep, kehendak atau inisiatif. Awal dari segala perbuatan manusia adalah karep.
2.      Jenggot
Ada dua macam jenggot, dan tempatnya menempel tepat di atas sekar kacang. Ada jenggot panjang, yang menjadi pasemoning kakung dan jenggot pendek, yang menjadi pasemoning pawestri.
3.      Praen
Letak praen pada bagian bilah paling depan. Praen ini dari kata rai, atau wajah, maka letaknya di depan.
4.      Greneng
Tempatnya pada ujung gonjo paling belakang, berwujud huruf “dha” Jawa. Greneng ini terdiri dari dua huruf dha, jadi “dhadha”, disebut greneng sungsun. Bila huruf dha berada di atas greneng sungsun, maka disebut huruf dha yang nunut atau lazim disebut ron dha nunut, artinya huruf dha yang dompleng (nunut) wilahan keris.
Dha – dha dimaknai sebagai tempat menyimpan rahasia kehidupan seseorang. Rahasia kehidupan di dalam dha – dha seseorang yang tidak dapat diselesaikan sendiri perlu dirembug, atau dimusyawarahkan, atau di – greneng – kan dengan orang lain.
5.      Plunturan atau Kruwingan
Tempatnya di belakang praen, memanjang ke bawah. Merupakan pasemon bahwa setelah ada musyawarah (greneng) melahirkan kesepakatan untuk melangkah, atau bertindak. Juga dapat dimaknai penyampaian sebagian atau seluruh perasaan seseorang pada orang lain (curhat).
6.      Gusen
Tempatnya di depan dan di belakang ada – ada, ujudnya pingulan yang tidak setajam ada – ada. Maka ada gusen belakang dan gusen depan. Gusen itu asal kata dari gusi, yaitu bagian mulut berupa daging keras, tempat di mana gigi – gigi kita menancap. Makna gusen depan dan belakang itu berarti bertemunya dua bibir antara kakung dan pawestri.
7.      Tikel Alis
Tempatnya di bawah pejetan, terus mengalir ke bawah, bila dicermati seperti alis, di depan besar terus mengecil. Tikel alis pada sebilah keris jumlahnya ada dua, yaitu masing – masing permulaan bilah. Maka disebut tikel alis artinya kening yang jumlahnya dua kali lipat. Pasemoning tikel alis adalah bersatunya dua kening atau alis antara kakung dan pawestri, yang sudah menempel satu dengan yang lain.
8.      Wadidang
Ricikan berikutnya setelah tikel alis adalah wadidang. Wadidang itu tempatnya di bagian belakang sor – soran, yang artinya paha. Ujudnya tajam, melengkung.
9.      Sraweyan
Tempatnya di bawah gonjo belakang, bentuknya menyerupai gusen, berada di belakang sogokan. Pasemoning sraweyan ini adalah tangan yang senantiasa bergerak mencari sasaran untuk dipegang.
10.  Jalen (jalu memet) dan lambe gajah
Jalu memet tempatnya di bawah sekar kacang, ujungnya runcing, merupakan pasemoning alat vital kakung.
11.  Gandhik
Terletak di bawah gonjo, bagian sirah cecak, bentuknya bulat memanjang, menyerupai gandhik (penggilas ramuan jamu). Maknanya, merupakan pasemon:
a.      Rembug yang telah golong – gilig antara dua insan yang telah seia – sekata.
b.   Merupakan pasemon terhadap manunggalnya antara jalu memet dan lambe gajah, yang tempatnya menyatu dengan gandhik. Bilamana jalu memet dan lambe gajah ini sudah menyatu disebut gandhik, yang berarti manunggalnya dua insan kakung dan pawestri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.
12.  Genukan atau bawang sebungkul
Tempatnya di tengah – tengah dan menempel di gonjo, bentuknya mbrenjul seperti tumpeng. Merupakan pasemon alat vital pawestri.
13.  Sogokan
Tempatnya berada di kanan – kiri genukan, ujudnya cekungan yang memanjang ke bawah dan meruncing. Ada dua sogokan, depan dan belakang, bahkan ada yang hanya satu, sogokan bagian depan. Sogokan ini menjadi pasemon alat vital kakung.
14.  Sekar kacang
Tempatnya di bawah gandhik, lambe gajah, maupun  jalen. Bentuknya melengkung ke atas seperti belalai gajah, hampir menempel lambe gajah. Bermacam – macam bentuk dari sekar kacang, ada yang panjang, nguku Bhima, nyambah aking, dan ada yang terbalik.
Sekar kacang ini menjadi pasemon wijining agesang, yang tumbuh setelah terjadinya proses manunggalnya jalu memet dan lambe gajah.
15.  Blumbangan atau pejetan
Letaknya di bagian gonjo bagian jonggo cecak, di belakang gandhik, di depan genukan. Ujudnya berupa cekungan atau blumbangan.
Blumbangan ini menjadi pasemon sebagai wadah wijining agesang, atau lazimnya disebut rahim, yang artinya belas kasih. Hanya karena atas belas kasih Tuhan Yang Maha Esa semata, maka kita dapat lahir dan hidup dari seorang ibu.
16.  Pudhak sategal
Tempatnya di sebelah depan dan belakang sor – soran, bentuknya seperti pedang, memanjang ke bawah dan tajam.
Artinya pudhak itu bunga pandhan, yang baunya sangat harum, dan jumlah satu tegalan penuh. Pasemoning pudhak sategal adalah harum dan mulia.

     Bilamana makna ricikan – ricikan di atas kita rangkum dalam satu kesatuan maka akan semakin jelas pasemoning agesang tersebut.
            Berawal dari kehendak, karep (ada – ada) dua insan antara jenggot panjang (kakung) bertemu dengan jenggot pendek (pawestri) bertatap muka (praen). Setelah bertatap muka, kedua insan tersebut menyampaikan isi hati mereka masing – masing dalam bentuk musyawarah atau berembug. Musyawarah atau berembug ini juga diistilahkan greneng.
            Dalam suasana grenengan ini mereka saling menyampaikan isi hati mereka (dha – dha), tentang suka dan dukanya kehidupan. Yang akhirnya mereka memadu kasih, saling memberi dan menerima baik segala kelebihan maupun kekurangan mereka masing – masing (plunturan atau kruwingan). Mereka mulai saling berdekatan, bercumbu rayu yang dimaknai denga ricikan gusen (gusi) dan tikel alis (alis kembar). Setelah gusen dan tikel alis mendekat maka kemudian diikuti dengan merapatnya wadidang (paha) kedua insan. Tanga mulai sraweyan ( meraba) untuk mencari sasaran yang terdapat di dalam wadidang masing – masing. Sasaran di dalam wadidang ini adalah jalu memet dan lambe gajah, yang menempel pada gandhik. Terpadulah dua insan hamba Tuhan Yang Maha Esa, untuk mewujudkan satu yang dua, atau dua yang satu, mereka terikat dalam satu kesatuan ujud, yang lazim disebut garwa (sigaraning nyawa).
            Ada pasemon dua ricikan yang berwujud genukan (bawang sebungkul) dan sogokan, yang kemudian menghasilkan sekar kacang sebagai pasemon wijining agesang yang ditampung dalam blumbangan atau pejetan. Wijining agesang tersebut diharap kelak menjadi penerus kehidupan baru. Inilah pasemoning agesang yang terdapat dalam keris.
            Bilamana kita menyikapi pasemoning agesang ini secara benar dan arif maka kita akan mampu menjadi suri tauladan hidup, yang akan mengharumkan nama keluarga dan bangsa, ibaratnya pudhak sategal.
            Namun sebaliknya bilamana seseorang tidak mampu memaknai secara benar, maka niscaya akan jatuh ke jurang kenisthaan hidup, aji godhong jati aking, ibarat terkena ketajaman keris dari wadidang sampai gandhik.
            Dari pitutur dan pituduh, berupa pasemoning sangkan paran serta pasemoning agesang yang tertuang di dalam keris tersebut, para priyagung luhur mewariskan sesanti kepada semua generasi penerus kehidupan bangsa, bahwa :
1.     Agar kita senantiasa melaksanakan dan mengamalkan segala apa yang diperintahkan Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus menjauhi apa yang menjadi larangan – Nya, sehingga kita mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita mampu menjadi mustikaning janma, yang dapat melaksanakan dan mengamalkan jumbuhing Kawulo – Gusti. (jumbuh/ngetrepi)
2.   Agar kita dapat memahami secara benar bahwa apa yang tertuang dalam ricikan keris adalah sesuatu yang suci, mulia, atau keramat, jangan sampai sekali – kali diwarnai dengan nafsu yang hina.
Bilamana dapat kita laksanakan dengan baik, maka akan mendapatkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai keluarga yang sakinah, mawadah, dan warakhmah.
3.     Kepada anak cucu generasi penerus, hendaknya disadari bahwa keris merupakan salah satu jati diri bangsa Indonesia yang wajib diuri – uri, dipepetri, dan dilestarikan sebagai warisan bangsa yang adiluhung.
            Inilah pesan moral yang keramat warisan para Empu yang tertuang dalam mahakarya paripurna berupa keris. Maka tidaklah berlebihan, bilamana kita memandang keris sebagai mahakarya paripurna anak bangsa yang keramat dan adiluhung.

Salam Keris!!!
Mentaok Keris

3 komentar:

  1. Salam kenal Bpk Kardono, saya merasa artikel Bapak sangat bagus, menarik, dan penting untuk dibaca para pemerhati keris yang masih pemula seperti saya. sebagai penjual karya seni antik, saya juga menyediakan keris untuk kepentingan koleksi dan hobby, namun saya belum paham betul tentang keris. mudah2an Bapak sudi untuk mengunjungi blog saya: http://gama-wati.blogspot.com/
    untuk memberikan kritik dan saran. terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal Bpk Joyo, terima kasih atas kunjungannya di blog kami. Mohon maaf baru sempat membalas komentar, karena kemarin2 saya masih belum bisa begitu aktif melakukan blogging.
      Salam keris!!!
      - Kardono/ Mentaok Keris -

      Hapus